“Information is an
essential underpinning of democracy at every level. At its most general,democracy is about the ability of
individuals to participate effectively in decision-making that affects them.” (Toby Mendel)
PARTAI POLITIK : APAKAH
MASIH BISA DIPERTANGGUNGJAWABKAN?
Dalam pengantar buku “Freedom of Information : A comparative legal
survey”, Toby Mendel mengutip pernyataantentangpentingnyasebuahinformasibagiorganisasi
non pemerintah. Bagi mereka informasi adalah oksigen bagi demokrasi. Hal ini memang sangat masuk akal,
mengingat demokrasi adalah konsep yang mempersilahkan semua warga negara untuk berperan serta dalam proses
pengambilan keputusan. Dalam suasana demokratis, maka informasi adalah hal yang
mutlak harus dimiliki. Bahkan untuk dapat memilih calon DPR atau kepala desa
sekali pun, harus didasari dengan informasi terkait profil dan track record dari para calon agar dapat memilih calon
yang tepat dan benar-benar berjuang untuk rakyat. Oleh karenanya, apabila suatu
negara memang menempatkan rakyatnya sebagai pemegang kedaulatan, sudah
seharusnya rakyat dapat mengakses segala informasi yang berkenaan dengan
negaranya.Tidak terkecuali dengan partai politik yang notabene merupakan salah
satu pilar penyangga demokrasi di negeri ini.
Partai politik saat ini secara gamblang dapat kita lihat memiliki hubungan
yang sangat intens dengan kaum-kaumelit. Tentu saja, keterkaitan ini
mengindikasikan adanya relasi kepentingan yang akan mengganggu ideologi dan
fungsi partai sebagai institusi pendidikan politik rakyat. Emmy Hafild, mantan
sekjen Transparency International Indonesia dalam salah satu pengantarnya mengungkapkan dengan
gamblang relasi ini akan muncul ketika partai politik beserta kandidatnya
banyak mendapatkan sumbangan dari kelompok tertentu. Maka, ketika terpilih
partai dan kandidat tersebut akan merasa berhutang budi kepada kelompok
tersebut dan akan berusaha membalas budi mereka lewat fasilitas-fasilitas atau
kebijakan-kebijakan yang menguntungkan.
Hal ini terbukti ketikakita melihat relasi antara Ratu Atut Chosiyah dan
PT. Sinar Ciomas di Banten. Begitu juga dengan Benhur Tomimano walikota Jayapura dan Rudy Maswe salah satu
pengusaha di Jayapura. Ketika Ratu Atut dan Benhur Tomimano menjabat,
perusahaan dan pengusaha ini mendapatkan proyek-proyek bernilai besar. Seperti
renovasi stadion, pembangunan pasar, pembangunan gedung olahraga dan jembatan
layang.
Oleh karenanya, masyarakat harus mengetahui seluk beluk sebuah partai. Baik
dari ideologi yang diusung, program kerja, hingga sumber pendanaannya. Melalui hal
tersebut, masyarakat dapat menilai, memprediksi dan mengkritisi
kebijakan-kebijakan yang akan dibuat oleh salah satu kandidat apabila berbeda
dari ideologi dan program kerja yang diusung. Dengan mengetahui sumber pendanaan sebuah
partai, maka masyarakat dapat mengontrol agar sebuah partai tidak menerima
sumbangan dari satu golongan tertentu secara berlebihan yang berakibat
terganggunya pembentukan kebijakan oleh anggota partai yang menjabat sebagai
pejabat publik. Disinilah, pentingnya transparansi atas informasi berupa struktur
kepengurusan partai, rincian program partai, dan laporan keuangan partai.
Berdasarkan hasil uji transparansi atas 9 partai politik di jawa timur
(berada pada tingkatan Dewan Pengurus Wilayah Partai), dengan tegas MCW
menyatakan partai politik belum transparan, utamanya atas pengelolaan keuangan
partai. Pada uji akses yang mulai dilakukan sejak tahun 2013 ini, hanya Partai
Keadilan Sejahterah yang memberikan ketiga jenis informasi, kecuali laporan keuangan
partai untuk tahun 2012.Sementara partai lainnya, hanya memberikan informasi
atas struktur kepengurusan, program kerja, dan laporan pertanggung jawaban
bantuan politik yang bersumber dari APBD. Akan tetapi perlu diingatbahwasemua partai baru memberikan seluruh
informasi tersebut setelah melalui proses peradilan di Komisi Informasi. Sejatinya
semua partai tidaklah jauh berbeda dalam proses transparansi atas
informasi-informasi partai.
Terlihat bahwa PKS memiliki
indeks atau tingkatan transparansi tertinggi diantara partai lainnya. Hal ini
disebabkan PKS memberikan semua informasi yang diminta serta memberikan tanggapan
atas surat permohonan informasi yang dikirimkan MCW. Begitu pula dengan Golkar
yang selalu menanggapi surat permohonan informasi MCW, meski pada proses
berkirim surat keduanya menanggapi tidak sesuai dengan perundang-undangan. PKS
menanggapi dengan memberikan sebagian informasi, sementara Golkar menaggapi
dengan mengirimkan surat mangajak audiensi. PKS lebih unggul dibanding Golkar
karena setelah proses peradilan di komisi Informasi, PKS memberikan semua jenis
informasi
yang diminta, sementara Golkar masih memberikan sebagian informasi.
PAN, PPP, dan Demokrat
berada pada level transparansi yang sama. Ketiganya sama-sama tidak memberikan
tanggapan apapun selama proses permohonan melalui surat. Mereka baru memberikan
sebagian informasi setelah melalui proses peradilan di Komisi Informasi.
Sementara PKB, meski telah sepakat akan memberikan informasi-informasi yang
dimohonkan, hingga saat tulisan ini disusun, belum memberikan satupun informasi
yang diminta.
Gerindra dan Hanura
menunjukkan ketertutupannya dengan sama sekali tidak memberikan tanggapan dan
hadir dalam proses peradilan di Komisi Informasi. Bahkan, meski Komisi Informasi
telah memutus bahwa keduanya diharuskan memberikan informasi yang dimohonkan
kepada termohon, hingga saat ini putusan tersebut belum dipatuhi. Keduanya sama
sekali tidak memberikan informasi yang dimohonkan.
Berdasarkan Undang-Undang No
2 Tahun 2008 Jo Undang-Undang No 2 Tahun 2011 tentang partai politik
Jo Undang-Undang No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik menegaskan
bahwa informasi berkenaan dengan partai politik haruslah dikelola secara
transparan dan akuntabel. Bahkan dengan tegas, pasal 39 ayat (1) Undang-Undang
No 2 Tahun 2011 menyatakan bahwa pengelolaan keuangan partai politik dilakukan
secara transparan dan akuntabel.
Dalam rumusan Robert
Klitgard, praktik korupsi dapat diindikasikan apabila terlihat adanya monopoli
segelintir kelompok yang kemudian disusul dengan diskresi yang sangat minim
akuntabilitasnya. Partai politik tidak diragukan lagi memiliki kemampuan
memonopoli dan menciptakan diskresi-diskresi melalui anggota-anggotanya di
parlemen. Mengikuti rumusan Klitgard, Indikasi terjadinya praktik koruptif
dapat terlihat dari tidak transparannya partai politik yang mengindikasikan
minimnya akuntabilitas.
POLITIK UANG:
BUAH JATUH TIDAK
JAUH DARI POHONNYA
Pemilu diyakini sebagai
media bagi rakyat untuk mendelegasikan kedaulatan yang mereka miliki kepada
segelintir orang yang tentu mereka percaya akan mampu memperjuangkan
kepentingan-kepentingannya. Pada saat inilah, rakyat akan menyerahkan nasib
mereka setidaknya untuk 5 tahun kedepan. Melalui pemilu, para pejabat publik terpilih
memiliki legitimasi untuk menyusun dan membuat kebijakan. Oleh karenanya,
pemilu haruslah bersih dari praktik-praktik koruptif yang menguntungkan salah
satu pihak dan merusak esensi dari pemilu.
Akan tetapi, tampaknya saat
ini memang masih sangat sulit mencari calon yang bersih dari praktik-praktik
koruptif. Kenyataan ini sangat dipahami oleh masyarakat, terbukti dengan
bertebarannya slogan-slogan “terima uangnya, jangan pilih orangnya,” atau “terima
orangnya, pilih semuanya,” hingga “tolak uangnya, ungkap pelakunya,”. Hal ini
kian kuat ketika Jaringan Anti Korupsi Jawa Timur melakukan pemantauan atas praktik-praktik
politik uang di jawa timur menemukan 96 indikasi praktik politik uang. indikasi-indikasi
ini tersebar di berbagai wilayah di Jawa Timur.
Temuan diatas dapat
dijadikan sebagai tolak ukur akan kevulgaran para kandidat dalam melakukan praktik
politik uang. Vulgaritastersebut membuat jaringan dan warga dengan mudah
mengenalinya sebagai praktik politik uang. Data tersebut sekaligus
mengindikasikan bahwa warga pada daerah tercantum memiliki keberanian untuk
mengadu meski belum mencapai tahapan melakukan investigasi. Sementara
daerah-daerah lain yang belum tercantum, atau tidak ditemukan adanya temuan,
bukan berarti bersih dari praktik-praktik koruptif. Ada dua kemungkinan yang
dapat diajukan, pertama, daerah tersebut memang bersih dari praktik-praktik
politik uang, kedua, daerah-daerah tersebut memiliki intensitas intimidasi dan
kekerasan yang sangat besar hingga mencegah warga untuk melapor ataupun
mengadukan.
Pepatahbuah jatuh
tidak jauh dari pohonnya tampaknya dapat menggambarkan bagaimana kondisi para
calon legislatif berkompetisi tidak sehat dalam pemilu 2014. Ketika partai
politik pengusungnya menunjukkan ketertutupan sebagai indikasi terjadinya praktik-praktik
koruptif, maka para anggota dan kandidatnya dengan vulgar menunjukkan praktik-praktik
tersebut. Dari 96
indikasi politik uang, kesuluruhannya dilakukan oleh calon anggota legislatif
yang notabene berasal dari partai politik.
Dalam Undang-Undang No 8
Tahun 2012 Tentang Pemilu Anggota Legislatif, Pasal 301 dengan jelas menyatakan
larangan untuk menjanjikan dan memberikan materi apapun kepada pemilih dengan
maksud untuk memilih atau tidak memilih salah satu orang tertentu. Akan tetapi,
para calon tersebut masih dengan percaya diri melakukan praktik-prektek ilegal
tersebut. Dengan berbagai modus dan kamuflase, bahkan dengan terang-terangan
memberikan uang, para calon mempengaruhi para pemilihnya. Bahkan para calon ini
tidak segan-segan menggunakan tempat-tempat yang dianggap sakral sebagai media
meraup suara.
Pada grafik diatas, dapat
kita lihat bahwa modus pemberian uang masih menjadi yang paling dominan
digunakan oleh para caleg dalam praktik politik uang. Akan tetapi, pemberian
uang tidak lagi menggunakan modus serangan fajar ataupun serangan dhuhur.
Pemberian uang dilakukan door
to door
pada malam hari sebelum hari pemungutan suara. Proses pemberian pun dilakukan
layaknya antar tetangga yang bertamu,
sehingga tidak mencolok dan mencurigakan. Pemberian barang
juga tidak jarang dilakukan oleh para caleg. Barang yang diberikan berkisar
pada kebutuhan pokok sehari-hari, seragam tahlil, seragam pengajian, hingga
bantuan kursi untuk acara warga.
Penyalahgunaan kekuasaan
seringkali dilakukan oleh para caleg yang berasal dari partai incumbent atau
yang salah satu kadernya menjabat sebagai pejabat publik. Penyalahgunaan yang
dimaksud adalah mengklaim program pemerintah sebagai hasil atau berasal dari
dirinya. Seperti proyek pemavingan jalan yang dilakukan atau diberikan atas
nama seorang caleg, meskipun sejatinya program itu merupakan program
pemerintah. Modus ini tentu tidak bisa dilakukan kecuali si caleg telah melakukankongkalikong
dengan pejabat publik
seperti kepala desa bahkan walikota.
Selain melakukan pemberian
uang secara langsung, praktik jual beli suara juga dilakukan melalui oknum
masyarakat. Oknum tersebut meminta KTP beberapa orang yang telah dipetakan
sebelumnya, untuk kemudian dicatat dan disetorkan kepada caleg yang
meminta/memberli suara. Oknum ini kemudian mendapatkan uang dan mengambil
beberapa persen dari uang tersebut sementara sisanya diberikan kepada pemilik
KTP.
Telah disebutkan sebelumnya,
bahwa dalam melakukan praktik ini, para caleg tidak segan-segan untuk
menggunakan tempat-tempat yang dianggap suci untuk mengeruk suara warga. Hal
ini tercermin dari model politik uang berupa ziarah tempat-tempat suci. Seperti
makam wali, makam kiai, dan makam-makam yang dianggap suci lainnya. Pelaku
modus ini umumnya berasal dari partai bernuansa islam.
Jaringan anti korupsi jawa
timur juga menemukan praktik-praktik politik
uang melalui proses mobilisasi masa. Hal ini dilakukan baik pada hariH maupun
sebelum hari H. di malang sendiri hal ini ditemukan oleh beberapa warga
dilakukan oleh sejumlah calon dengan memobilisasi mahasiswa. Proses mobilisasi
ini biasanya dapat dilakukan karena si calon memiliki kedekatan organisasi
dengan para mahasiswa, atau ada relasi pemilik tempat tinggal dengan mahasiswa
yang menempati.
Ketika partai sebagai
institusi kederisasi calon melakukan praktik-praktik koruptif, maka tidaklah
mengherankan apabila para kader dan kandidatnya juga melakukan hal yang serupa.
Ketika partai politik dengan mudahnya mengabaikan perintah undang-undang untuk
berlaku transparan, maka jangan kaget ketika para kader dan kandidatnya tidak
segan untuk mengabaikan undang-undang dan berlaku curang. Maka, bagaimana
mungkin seorang calon kandidat dan sebuah partai mampu berjanji akan
memberantas korupsi sementara untuk bersikap transparan dan mendidik kader
serta kandidatnya saja tidak mampu.
Partai Politik harus
sesegera mungkin memperbaiki pengelolaan dan kaderisasi. Partai politik
harus terbuka dengan masyarakat. Partai juga harus segera kembali ke jalan yang
benar dengan melakukan pendampingan dan pendidikan politik kepada masyarakat.
Pendidikan dan pendampingan tidak dilakukan hanya ketika menjelang pemilu, akan
tetapi sepanjang waktu. Hal yang paling mudah untuk mengawali adalah dengan
mengaktifkan kantor-kantor partai yang selama ini hanya aktif dan terbuka
ketika menjelang masa pemilu saja.
POLITIK
UANG:TIPU
MENIPU
Pada pemilu legislatif 2014,
MCW melihat sebuah fenomena dimana praktik
politik uang tersebar luas dan masyarakat menerima bahkan mengharapkan
keberadaannya. Sungguh menarik jawaban masyarakat ketika tim MCW berdialog mengenai
alasan mereka menerima bahkan meminta uang atau materi lainnya kepada para
calon. Bagi mereka, hanya pada masa inilah para calon akan turun ke
daerah-daerah hingga yang terpencil sekalipun, pada masa ini pula para calon
akan dengan mudah mengeluarkan materi untuk membantu masyarakat. oleh
karenanya, ‘kapan lagi, kalau bukan sekarang?’Bahkan beberapa warga dengan
emosional menyatakan bahwa selama lima tahun lalu dan yakin pada lima tahun
kedepan, mereka tidak akan mendapatkan manfaat apapun dari para anggota dewan.
Maka pada masa inilah saatnya mereka
mengeruk habis-habisan harta dan materi para calon anggota dewan.
Fenomena ini sejalan dengan
teori ‘frustasi akan melahirkan agresi’ yang dipopulerkan oleh Michel Foucault. Rasa
frustasi yang dirasakan oleh masyarakat akibat tidak terjadinya perubahan yang
dapat mereka rasakan selama lima tahun lalu melahirkan tindakan-tindakan agresi
berupa ‘pemalakan’ kepada sejumlah caleg. Pemalakan terjadi dengan sangat
halus, seperti melalui obrolan ringan akan keinginan warga untuk memiliki
gapura desa, atau baju pengajian, kursi-kursi acara, hingga kebutuhan kucuran
dana. Lebih menarik lagi, ketika bantuan yang diberikan tidaklah menjadi
patokan seseorang untuk memilih. Ungkapan yang umum diutarakan masyarakat seperti
‘Uangnya kita terima, tapi pilihan tetap urusan kita’ menjadi bukti bahwa
pemberian uang bukan menjadi alasan rakyat untuk memilih salah satu kandidat.
Sebagian besar masyarakat memang menerima praktik politik uang.
artinya, ketika ada yang memberi atau menawari akan mereka terima. Bahkan
mungkin saja masyarakatlah yang meminta. Akan tetapi, hal ini tidak menjadikan
si pemberi atau calon anggota dewan yang memberikan akan dipilih oleh
masyarakat. Terbukti, 39% masyarakat mengaku akan menerima praktik politik uang
dan sekaligus belum tentu akan menjadikan hal tersebut sebagai patokan untuk
memilih.
Sebenarnya, masyarakat
memiliki patokan tersendiri untuk memilih salah seorang calon. Pada survey yang
sama, dengan 150 responden, tidak ditemukan adanya alasan memilih salah seorang
calon karena telah memberi uang. sebagian besar responden justru menyatakan
bahwa pertimbangan utama mereka untuk memilih seseorang adalah berdasarkan
moral sang kandidat. Bagi masyarakat, meskipun telah memberikan uang dan materi
begitu besar, akan tetapi sudah dikenal ketidak jujuran dan kebobrokan
moralnya, maka sebagian besar responden mengaku tidak akan memilih calon
tersebut.
Maka muncul pertanyaan,
siapakah yang menjadi pelaku dan siapa korbannya? Apakah calon legislatif yang
menipu masyarakat dengan iming-iming uang dan materi, atau masyarakat yang
melampiaskan rasa frustasinya dengan seolah-olah mengumbar suara mereka dan
mengeruk materi si calon?
PENYELENGGARA
PEMILU HARUS PROGRESIF
Di tahun 2014 ini kita
sering mendengar dan melihat iklan-iklan ajakan untuk mencoblos di berbagai
media. Mulai dari karikatur, brosur,
musik,
hingga video klip sangat gencar diiklankan. Harapannya tentu agar masyarakat
turut berpartisipasi dalam proses pemilu khusunya untuk memilih pada hari
pemungutasn suara.
Hal ini merupakan sebuah
kreatifitas yang harus diapresiasi dari KPU selaku penyelenggara pemilu. Akan
tetapi, iklan-iklan tersebut rasanya tidak didukung dengan aksesibilitas yang
disediakan KPU bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi seputar pemilu. Tanpa
mengesampingkan papan pengumuman yang tersebar diberbagai tempat keramaian. Website
tetap merupakan salah satu media yang sangat penting untuk disediakan,
mengingat kondisi masyarakat utamanya remaja saat ini yang lebih senang untuk
mengakses informasi dari media digital. Akan tetapi, sangat disayangkan, berdasarkan
pemantauan yang dilakukan oleh MCW, dari 37 KPU pada tingkatan kabupaten/kota,
hanya ada 18 KPU yang memiliki website yang dapat diakses oleh semua
orang.
Selain itu, MCW juga memohon
informasi berupa DCT (Daftar Caleg Tetap), DPT (Daftar Pemilih Tetap), Dana
Kampanye, dan Profil Calon. MCW juga menghimbau kepada setiap KPU untuk meng-upload informasi
tersebut ke website tiap-tiap KPU agar dapat dengan mudah diakses oleh
masyarakat.
Hasilnya, hinga saat ini
hanya ada 5 KPU yang dapat diakses DPT-nya, kemudian hanya ada 26 KPU yang
dapat diakses DCT-nya, Hanya ada 16 KPU yang dapat diakses dana kampanye partai
di daerahnya. Sementara itu tidak ada satupun KPU yang dapat diakses profil
calon di daerahnya. Minimnya informasi yang dapat diakses oleh masyarakat tentu
akan berimplikasi secara langsung terhadap kualitas pilihannya.
Masyarakat yang pada awalnya
berniat untuk menggunakan hak pilihnya, menjadi kebingungan siapa yang harus Ia
pilih. Karena mereka tidak tahu profil dari setiap calon, minimal profil dan
visi-misnya. Inilah yang menjadi tugas KPU selaku penyelenggara, bukan berarti
KPU menjadi petugas kampanye, akan tetapi menjadi penyedia informasi dasar
terkait setiap calon.
Sementara KPU dilanda krisis
aksesibilitas, panwaslu dilanda krisis pembuktian atas pelanggaran pemilu. Baik
bawaslu dan panwaslu selalu mengungkapkan bahwa kasus yang dilaporkan dan
ditemukan oleh panwas terkendala kurangnya alat bukti dan saksi. Dua hal ini
yang diakui selalu menjadi penghambat panwaslu untuk meningkatkan status kasus
ke proses penyidikan oleh kepolisian.Ribuan relawan demokrasi yang direkrut
oleh panwaslu juga tidak memberikan hasil yang memuaskan. Terbukti dengan masih
vulgar
dan nyamannya para pelaku politik uang melakukan praktik-praktik illegalnya.
Panwaslu harus memikirkan cara agar para pelaku pidana pemilu ini dapat dijerat
dan disanksi secara hukum.
PEMILU 2014: Antara Pelanggaran dan Harapan
Hasil
pemilihan calon anggota legislatif 2014 ini diyakini memunculkan wajah-wajah
baru dan otomatis akan menggusur wajah-wajah lama. Hal ini tidak terlepas dari
rasa frustasi masyarakat akan kinerja wajah lama yang tidak maksimal disertai
munculnya wajah-wajah baru yang tampaknya menebar harapan kepada masyarakat. Keterpilihan
wajah-wajah baru ini juga tidak lepas dari kampanye gencar yang dilakukan oleh
KPU kepada masyarakat untuk meggunakan hak pilihnya. Sementara perilaku partai
dan kandidatnya justru kian vulgar dalam melakukan berbagai pelanggaran sebagai
bentuk penghinaan atas hak rakyat untuk berdemokrasi.
Kepada para calon terpilih,
harus tetap memperjuangkan hak-hak rakyat. Para calon terpilih harus terus
berkomunikasi dengan konstituentnya.
Jangan hanya datang ke masyarakat menjelang pemilu, akan tetapi setiap kali
masyarakat membutuhkan, para calon terpilih ini harus siap sedia. Angota dewan bukanlah
raja, anggota dewa adalah pengemban amanah dan kedaulatan rakyat.
Partai politik
harus segera bersikap transparan dan melepaskan diri dari jeratan
kepentingan-kepentingan kelompok tertentu. Dengan bersikap transparan dan
melibatkan masyarakat, partai politik akan mendapatkan dukungan yang sangat
luar biasa. Partai politik harus kembali kepada fungsi awalnya sebagai pendidik
rakyat, utamanya dalam hal pendidikan politik.
Komentar