Langsung ke konten utama

NODA DEMOKRASI KITA

“Information is an essential underpinning of democracy at every level. At its most general,democracy is about the ability of individuals to participate effectively in decision-making that affects them.” (Toby Mendel)


PARTAI POLITIK : APAKAH MASIH BISA DIPERTANGGUNGJAWABKAN?
Dalam pengantar buku “Freedom of Information : A comparative legal survey”, Toby Mendel mengutip pernyataantentangpentingnyasebuahinformasibagiorganisasi non pemerintah. Bagi mereka informasi adalah oksigen bagi demokrasi. Hal ini memang sangat masuk akal, mengingat demokrasi adalah konsep yang mempersilahkan semua warga negara untuk berperan serta dalam proses pengambilan keputusan. Dalam suasana demokratis, maka informasi adalah hal yang mutlak harus dimiliki. Bahkan untuk dapat memilih calon DPR atau kepala desa sekali pun, harus didasari dengan informasi terkait profil dan  track record dari para calon agar dapat memilih calon yang tepat dan benar-benar berjuang untuk rakyat. Oleh karenanya, apabila suatu negara memang menempatkan rakyatnya sebagai pemegang kedaulatan, sudah seharusnya rakyat dapat mengakses segala informasi yang berkenaan dengan negaranya.Tidak terkecuali dengan partai politik yang notabene merupakan salah satu pilar penyangga demokrasi di negeri ini.
Partai politik saat ini secara gamblang dapat kita lihat memiliki hubungan yang sangat intens dengan kaum-kaumelit. Tentu saja, keterkaitan ini mengindikasikan adanya relasi kepentingan yang akan mengganggu ideologi dan fungsi partai sebagai institusi pendidikan politik rakyat. Emmy Hafild, mantan sekjen Transparency International Indonesia dalam salah satu pengantarnya mengungkapkan dengan gamblang relasi ini akan muncul ketika partai politik beserta kandidatnya banyak mendapatkan sumbangan dari kelompok tertentu. Maka, ketika terpilih partai dan kandidat tersebut akan merasa berhutang budi kepada kelompok tersebut dan akan berusaha membalas budi mereka lewat fasilitas-fasilitas atau kebijakan-kebijakan yang menguntungkan.
Hal ini terbukti ketikakita melihat relasi antara Ratu Atut Chosiyah dan PT. Sinar Ciomas di Banten. Begitu juga dengan Benhur Tomimano walikota Jayapura dan Rudy Maswe salah satu pengusaha di Jayapura. Ketika Ratu Atut dan Benhur Tomimano menjabat, perusahaan dan pengusaha ini mendapatkan proyek-proyek bernilai besar. Seperti renovasi stadion, pembangunan pasar, pembangunan gedung olahraga dan jembatan layang.
Oleh karenanya, masyarakat harus mengetahui seluk beluk sebuah partai. Baik dari ideologi yang diusung, program kerja, hingga sumber pendanaannya. Melalui hal tersebut, masyarakat dapat menilai, memprediksi dan mengkritisi kebijakan-kebijakan yang akan dibuat oleh salah satu kandidat apabila berbeda dari ideologi dan program kerja yang diusung. Dengan mengetahui sumber pendanaan sebuah partai, maka masyarakat dapat mengontrol agar sebuah partai tidak menerima sumbangan dari satu golongan tertentu secara berlebihan yang berakibat terganggunya pembentukan kebijakan oleh anggota partai yang menjabat sebagai pejabat publik. Disinilah, pentingnya transparansi atas informasi berupa struktur kepengurusan partai, rincian program partai, dan laporan keuangan partai.
Berdasarkan hasil uji transparansi atas 9 partai politik di jawa timur (berada pada tingkatan Dewan Pengurus Wilayah Partai), dengan tegas MCW menyatakan partai politik belum transparan, utamanya atas pengelolaan keuangan partai. Pada uji akses yang mulai dilakukan sejak tahun 2013 ini, hanya Partai Keadilan Sejahterah yang memberikan ketiga jenis informasi, kecuali laporan keuangan partai untuk tahun 2012.Sementara partai lainnya, hanya memberikan informasi atas struktur kepengurusan, program kerja, dan laporan pertanggung jawaban bantuan politik yang bersumber dari APBD. Akan tetapi perlu diingatbahwasemua partai baru memberikan seluruh informasi tersebut setelah melalui proses peradilan di Komisi Informasi. Sejatinya semua partai tidaklah jauh berbeda dalam proses transparansi atas informasi-informasi partai.
Terlihat bahwa PKS memiliki indeks atau tingkatan transparansi tertinggi diantara partai lainnya. Hal ini disebabkan PKS memberikan semua informasi yang diminta serta memberikan tanggapan atas surat permohonan informasi yang dikirimkan MCW. Begitu pula dengan Golkar yang selalu menanggapi surat permohonan informasi MCW, meski pada proses berkirim surat keduanya menanggapi tidak sesuai dengan perundang-undangan. PKS menanggapi dengan memberikan sebagian informasi, sementara Golkar menaggapi dengan mengirimkan surat mangajak audiensi. PKS lebih unggul dibanding Golkar karena setelah proses peradilan di komisi Informasi, PKS memberikan semua jenis informasi yang diminta, sementara Golkar masih memberikan sebagian informasi.
PAN, PPP, dan Demokrat berada pada level transparansi yang sama. Ketiganya sama-sama tidak memberikan tanggapan apapun selama proses permohonan melalui surat. Mereka baru memberikan sebagian informasi setelah melalui proses peradilan di Komisi Informasi. Sementara PKB, meski telah sepakat akan memberikan informasi-informasi yang dimohonkan, hingga saat tulisan ini disusun, belum memberikan satupun informasi yang diminta.
Gerindra dan Hanura menunjukkan ketertutupannya dengan sama sekali tidak memberikan tanggapan dan hadir dalam proses peradilan di Komisi Informasi. Bahkan, meski Komisi Informasi telah memutus bahwa keduanya diharuskan memberikan informasi yang dimohonkan kepada termohon, hingga saat ini putusan tersebut belum dipatuhi. Keduanya sama sekali tidak memberikan informasi yang dimohonkan.
Berdasarkan Undang-Undang No 2 Tahun 2008 Jo Undang-Undang No 2 Tahun 2011 tentang partai politik Jo Undang-Undang No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik menegaskan bahwa informasi berkenaan dengan partai politik haruslah dikelola secara transparan dan akuntabel. Bahkan dengan tegas, pasal 39 ayat (1) Undang-Undang No 2 Tahun 2011 menyatakan bahwa pengelolaan keuangan partai politik dilakukan secara transparan dan akuntabel.
Dalam rumusan Robert Klitgard, praktik korupsi dapat diindikasikan apabila terlihat adanya monopoli segelintir kelompok yang kemudian disusul dengan diskresi yang sangat minim akuntabilitasnya. Partai politik tidak diragukan lagi memiliki kemampuan memonopoli dan menciptakan diskresi-diskresi melalui anggota-anggotanya di parlemen. Mengikuti rumusan Klitgard, Indikasi terjadinya praktik koruptif dapat terlihat dari tidak transparannya partai politik yang mengindikasikan minimnya akuntabilitas.

POLITIK UANG: BUAH JATUH TIDAK JAUH DARI POHONNYA
Pemilu diyakini sebagai media bagi rakyat untuk mendelegasikan kedaulatan yang mereka miliki kepada segelintir orang yang tentu mereka percaya akan mampu memperjuangkan kepentingan-kepentingannya. Pada saat inilah, rakyat akan menyerahkan nasib mereka setidaknya untuk 5 tahun kedepan. Melalui pemilu, para pejabat publik terpilih memiliki legitimasi untuk menyusun dan membuat kebijakan. Oleh karenanya, pemilu haruslah bersih dari praktik-praktik koruptif yang menguntungkan salah satu pihak dan merusak esensi dari pemilu.
Akan tetapi, tampaknya saat ini memang masih sangat sulit mencari calon yang bersih dari praktik-praktik koruptif. Kenyataan ini sangat dipahami oleh masyarakat, terbukti dengan bertebarannya slogan-slogan “terima uangnya, jangan pilih orangnya,” atau “terima orangnya, pilih semuanya,” hingga “tolak uangnya, ungkap pelakunya,”. Hal ini kian kuat ketika Jaringan Anti Korupsi Jawa Timur melakukan pemantauan atas praktik-praktik politik uang di jawa timur menemukan 96 indikasi praktik politik uang. indikasi-indikasi ini tersebar di berbagai wilayah di Jawa Timur.

Temuan diatas dapat dijadikan sebagai tolak ukur akan kevulgaran para kandidat dalam melakukan praktik politik uang. Vulgaritastersebut membuat jaringan dan warga dengan mudah mengenalinya sebagai praktik politik uang. Data tersebut sekaligus mengindikasikan bahwa warga pada daerah tercantum memiliki keberanian untuk mengadu meski belum mencapai tahapan melakukan investigasi. Sementara daerah-daerah lain yang belum tercantum, atau tidak ditemukan adanya temuan, bukan berarti bersih dari praktik-praktik koruptif. Ada dua kemungkinan yang dapat diajukan, pertama, daerah tersebut memang bersih dari praktik-praktik politik uang, kedua, daerah-daerah tersebut memiliki intensitas intimidasi dan kekerasan yang sangat besar hingga mencegah warga untuk melapor ataupun mengadukan.
Pepatahbuah jatuh tidak jauh dari pohonnya tampaknya dapat menggambarkan bagaimana kondisi para calon legislatif berkompetisi tidak sehat dalam pemilu 2014. Ketika partai politik pengusungnya menunjukkan ketertutupan sebagai indikasi terjadinya praktik-praktik koruptif, maka para anggota dan kandidatnya dengan vulgar menunjukkan praktik-praktik tersebut. Dari 96 indikasi politik uang, kesuluruhannya dilakukan oleh calon anggota legislatif yang notabene berasal dari partai politik.

Dalam Undang-Undang No 8 Tahun 2012 Tentang Pemilu Anggota Legislatif, Pasal 301 dengan jelas menyatakan larangan untuk menjanjikan dan memberikan materi apapun kepada pemilih dengan maksud untuk memilih atau tidak memilih salah satu orang tertentu. Akan tetapi, para calon tersebut masih dengan percaya diri melakukan praktik-prektek ilegal tersebut. Dengan berbagai modus dan kamuflase, bahkan dengan terang-terangan memberikan uang, para calon mempengaruhi para pemilihnya. Bahkan para calon ini tidak segan-segan menggunakan tempat-tempat yang dianggap sakral sebagai media meraup suara.


Pada grafik diatas, dapat kita lihat bahwa modus pemberian uang masih menjadi yang paling dominan digunakan oleh para caleg dalam praktik politik uang. Akan tetapi, pemberian uang tidak lagi menggunakan modus serangan fajar ataupun serangan dhuhur. Pemberian uang dilakukan door to door pada malam hari sebelum hari pemungutan suara. Proses pemberian pun dilakukan layaknya antar tetangga yang bertamu, sehingga tidak mencolok dan mencurigakan. Pemberian barang juga tidak jarang dilakukan oleh para caleg. Barang yang diberikan berkisar pada kebutuhan pokok sehari-hari, seragam tahlil, seragam pengajian, hingga bantuan kursi untuk acara warga.
Penyalahgunaan kekuasaan seringkali dilakukan oleh para caleg yang berasal dari partai incumbent atau yang salah satu kadernya menjabat sebagai pejabat publik. Penyalahgunaan yang dimaksud adalah mengklaim program pemerintah sebagai hasil atau berasal dari dirinya. Seperti proyek pemavingan jalan yang dilakukan atau diberikan atas nama seorang caleg, meskipun sejatinya program itu merupakan program pemerintah. Modus ini tentu tidak bisa dilakukan kecuali si caleg telah melakukankongkalikong dengan pejabat publik seperti kepala desa bahkan walikota.
Selain melakukan pemberian uang secara langsung, praktik jual beli suara juga dilakukan melalui oknum masyarakat. Oknum tersebut meminta KTP beberapa orang yang telah dipetakan sebelumnya, untuk kemudian dicatat dan disetorkan kepada caleg yang meminta/memberli suara. Oknum ini kemudian mendapatkan uang dan mengambil beberapa persen dari uang tersebut sementara sisanya diberikan kepada pemilik KTP.
Telah disebutkan sebelumnya, bahwa dalam melakukan praktik ini, para caleg tidak segan-segan untuk menggunakan tempat-tempat yang dianggap suci untuk mengeruk suara warga. Hal ini tercermin dari model politik uang berupa ziarah tempat-tempat suci. Seperti makam wali, makam kiai, dan makam-makam yang dianggap suci lainnya. Pelaku modus ini umumnya berasal dari partai bernuansa islam.
Jaringan anti korupsi jawa timur juga menemukan praktik-praktik politik uang melalui proses mobilisasi masa. Hal ini dilakukan baik pada hariH maupun sebelum hari H. di malang sendiri hal ini ditemukan oleh beberapa warga dilakukan oleh sejumlah calon dengan memobilisasi mahasiswa. Proses mobilisasi ini biasanya dapat dilakukan karena si calon memiliki kedekatan organisasi dengan para mahasiswa, atau ada relasi pemilik tempat tinggal dengan mahasiswa yang menempati.
Ketika partai sebagai institusi kederisasi calon melakukan praktik-praktik koruptif, maka tidaklah mengherankan apabila para kader dan kandidatnya juga melakukan hal yang serupa. Ketika partai politik dengan mudahnya mengabaikan perintah undang-undang untuk berlaku transparan, maka jangan kaget ketika para kader dan kandidatnya tidak segan untuk mengabaikan undang-undang dan berlaku curang. Maka, bagaimana mungkin seorang calon kandidat dan sebuah partai mampu berjanji akan memberantas korupsi sementara untuk bersikap transparan dan mendidik kader serta kandidatnya saja tidak mampu.
Partai Politik harus sesegera mungkin memperbaiki pengelolaan dan kaderisasi. Partai politik harus terbuka dengan masyarakat. Partai juga harus segera kembali ke jalan yang benar dengan melakukan pendampingan dan pendidikan politik kepada masyarakat. Pendidikan dan pendampingan tidak dilakukan hanya ketika menjelang pemilu, akan tetapi sepanjang waktu. Hal yang paling mudah untuk mengawali adalah dengan mengaktifkan kantor-kantor partai yang selama ini hanya aktif dan terbuka ketika menjelang masa pemilu saja.

POLITIK UANG:TIPU MENIPU
Pada pemilu legislatif 2014, MCW melihat sebuah fenomena dimana praktik politik uang tersebar luas dan masyarakat menerima bahkan mengharapkan keberadaannya. Sungguh menarik jawaban masyarakat ketika tim MCW berdialog mengenai alasan mereka menerima bahkan meminta uang atau materi lainnya kepada para calon. Bagi mereka, hanya pada masa inilah para calon akan turun ke daerah-daerah hingga yang terpencil sekalipun, pada masa ini pula para calon akan dengan mudah mengeluarkan materi untuk membantu masyarakat. oleh karenanya, ‘kapan lagi, kalau bukan sekarang?’Bahkan beberapa warga dengan emosional menyatakan bahwa selama lima tahun lalu dan yakin pada lima tahun kedepan, mereka tidak akan mendapatkan manfaat apapun dari para anggota dewan. Maka pada masa inilah saatnya mereka mengeruk habis-habisan harta dan materi para calon anggota dewan.
Fenomena ini sejalan dengan teori ‘frustasi akan melahirkan agresi’ yang dipopulerkan oleh Michel Foucault. Rasa frustasi yang dirasakan oleh masyarakat akibat tidak terjadinya perubahan yang dapat mereka rasakan selama lima tahun lalu melahirkan tindakan-tindakan agresi berupa ‘pemalakan’ kepada sejumlah caleg. Pemalakan terjadi dengan sangat halus, seperti melalui obrolan ringan akan keinginan warga untuk memiliki gapura desa, atau baju pengajian, kursi-kursi acara, hingga kebutuhan kucuran dana. Lebih menarik lagi, ketika bantuan yang diberikan tidaklah menjadi patokan seseorang untuk memilih. Ungkapan yang umum diutarakan masyarakat seperti ‘Uangnya kita terima, tapi pilihan tetap urusan kita’ menjadi bukti bahwa pemberian uang bukan menjadi alasan rakyat untuk memilih salah satu kandidat.
  
Sebagian besar masyarakat memang menerima praktik politik uang. artinya, ketika ada yang memberi atau menawari akan mereka terima. Bahkan mungkin saja masyarakatlah yang meminta. Akan tetapi, hal ini tidak menjadikan si pemberi atau calon anggota dewan yang memberikan akan dipilih oleh masyarakat. Terbukti, 39% masyarakat mengaku akan menerima praktik politik uang dan sekaligus belum tentu akan menjadikan hal tersebut sebagai patokan untuk memilih.
Sebenarnya, masyarakat memiliki patokan tersendiri untuk memilih salah seorang calon. Pada survey yang sama, dengan 150 responden, tidak ditemukan adanya alasan memilih salah seorang calon karena telah memberi uang. sebagian besar responden justru menyatakan bahwa pertimbangan utama mereka untuk memilih seseorang adalah berdasarkan moral sang kandidat. Bagi masyarakat, meskipun telah memberikan uang dan materi begitu besar, akan tetapi sudah dikenal ketidak jujuran dan kebobrokan moralnya, maka sebagian besar responden mengaku tidak akan memilih calon tersebut.

Maka muncul pertanyaan, siapakah yang menjadi pelaku dan siapa korbannya? Apakah calon legislatif yang menipu masyarakat dengan iming-iming uang dan materi, atau masyarakat yang melampiaskan rasa frustasinya dengan seolah-olah mengumbar suara mereka dan mengeruk materi si calon?

PENYELENGGARA PEMILU HARUS PROGRESIF
Di tahun 2014 ini kita sering mendengar dan melihat iklan-iklan ajakan untuk mencoblos di berbagai media. Mulai dari karikatur, brosur, musik, hingga video klip sangat gencar diiklankan. Harapannya tentu agar masyarakat turut berpartisipasi dalam proses pemilu khusunya untuk memilih pada hari pemungutasn suara.
Hal ini merupakan sebuah kreatifitas yang harus diapresiasi dari KPU selaku penyelenggara pemilu. Akan tetapi, iklan-iklan tersebut rasanya tidak didukung dengan aksesibilitas yang disediakan KPU bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi seputar pemilu. Tanpa mengesampingkan papan pengumuman yang tersebar diberbagai tempat keramaian. Website tetap merupakan salah satu media yang sangat penting untuk disediakan, mengingat kondisi masyarakat utamanya remaja saat ini yang lebih senang untuk mengakses informasi dari media digital. Akan tetapi, sangat disayangkan, berdasarkan pemantauan yang dilakukan oleh MCW, dari 37 KPU pada tingkatan kabupaten/kota, hanya ada 18 KPU yang memiliki website yang dapat diakses oleh semua orang.
  
Selain itu, MCW juga memohon informasi berupa DCT (Daftar Caleg Tetap), DPT (Daftar Pemilih Tetap), Dana Kampanye, dan Profil Calon. MCW juga menghimbau kepada setiap KPU untuk meng-upload informasi tersebut ke website tiap-tiap KPU agar dapat dengan mudah diakses oleh masyarakat.
Hasilnya, hinga saat ini hanya ada 5 KPU yang dapat diakses DPT-nya, kemudian hanya ada 26 KPU yang dapat diakses DCT-nya, Hanya ada 16 KPU yang dapat diakses dana kampanye partai di daerahnya. Sementara itu tidak ada satupun KPU yang dapat diakses profil calon di daerahnya. Minimnya informasi yang dapat diakses oleh masyarakat tentu akan berimplikasi secara langsung terhadap kualitas pilihannya.
Masyarakat yang pada awalnya berniat untuk menggunakan hak pilihnya, menjadi kebingungan siapa yang harus Ia pilih. Karena mereka tidak tahu profil dari setiap calon, minimal profil dan visi-misnya. Inilah yang menjadi tugas KPU selaku penyelenggara, bukan berarti KPU menjadi petugas kampanye, akan tetapi menjadi penyedia informasi dasar terkait setiap calon.
Sementara KPU dilanda krisis aksesibilitas, panwaslu dilanda krisis pembuktian atas pelanggaran pemilu. Baik bawaslu dan panwaslu selalu mengungkapkan bahwa kasus yang dilaporkan dan ditemukan oleh panwas terkendala kurangnya alat bukti dan saksi. Dua hal ini yang diakui selalu menjadi penghambat panwaslu untuk meningkatkan status kasus ke proses penyidikan oleh kepolisian.Ribuan relawan demokrasi yang direkrut oleh panwaslu juga tidak memberikan hasil yang memuaskan. Terbukti dengan masih vulgar dan nyamannya para pelaku politik uang melakukan praktik-praktik illegalnya. Panwaslu harus memikirkan cara agar para pelaku pidana pemilu ini dapat dijerat dan disanksi secara hukum.

PEMILU 2014: Antara Pelanggaran dan Harapan
Hasil pemilihan calon anggota legislatif 2014 ini diyakini memunculkan wajah-wajah baru dan otomatis akan menggusur wajah-wajah lama. Hal ini tidak terlepas dari rasa frustasi masyarakat akan kinerja wajah lama yang tidak maksimal disertai munculnya wajah-wajah baru yang tampaknya menebar harapan kepada masyarakat. Keterpilihan wajah-wajah baru ini juga tidak lepas dari kampanye gencar yang dilakukan oleh KPU kepada masyarakat untuk meggunakan hak pilihnya. Sementara perilaku partai dan kandidatnya justru kian vulgar dalam melakukan berbagai pelanggaran sebagai bentuk penghinaan atas hak rakyat untuk berdemokrasi.
Kepada para calon terpilih, harus tetap memperjuangkan hak-hak rakyat. Para calon terpilih harus terus berkomunikasi dengan konstituentnya. Jangan hanya datang ke masyarakat menjelang pemilu, akan tetapi setiap kali masyarakat membutuhkan, para calon terpilih ini harus siap sedia. Angota dewan bukanlah raja, anggota dewa adalah pengemban amanah dan kedaulatan rakyat.
Partai politik harus segera bersikap transparan dan melepaskan diri dari jeratan kepentingan-kepentingan kelompok tertentu. Dengan bersikap transparan dan melibatkan masyarakat, partai politik akan mendapatkan dukungan yang sangat luar biasa. Partai politik harus kembali kepada fungsi awalnya sebagai pendidik rakyat, utamanya dalam hal pendidikan politik.

Partai harus mengedepankan fungsinya sebagai partai pembentuk kader, bukan partai perebut massa. Dengan sifat yang transparan, kemudian menghasilkan kader-kader yang berkualitas, maka rakyat selaku massa akan datang dengan sendirinya untuk mendukung partai.(MCW)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sekolah Demokrasi

13-14 Juni 2015 Proklamasi 1945 merupakan tonggak awal Indonesia menjadi sebuah Negara dengan sistem pemerintahan Demokrasi. Sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang- undang 1945 dan Pancasila yang berbunyi,”Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”. Bentuknyapun beraneka ragam sejak era orde lama hingga era reformasi. Dimulai dari Demokrasi Parlementer, Demokrasi terpimpin, Demokrasi Pancasila hingga saat ini system demokrasi yang menjadi pilihan Indonesia masih belum menemukan bentuk yang paten. Semisal di Amerika Serikat yang dikenal dengan Demokrasi Liberal. Di era orde lama hingga orde baru, pemerintahan cenderung lebih sentralistik. Segala urusan bergantung pada kebijakan pemerintah pusat. Kebebasan rakyat untuk menyampaikan pendapat/aspirasi sangat dibatasi, bahkan tidak jarang para Aktivis yang melakukan gerakan kritis terhadap pemerintah, mendapatkan ancaman, pengasingan bahkan dibunuh. Militer digunakan oleh penguasa hanya...

Pola Relasi Kades dan BPD

Proses Musyawarah Warga yang Demokratis Badan Permusyawaratan Desa (BPD) adalah representasi masyarakat desa yang dilembagakan secara formal dalam lembaga kemasyarakatan desa, merupakan institusi demokratis perwakilan desa, Meskipun bukanlah perlemen atau lembaga legislatif seperti DPR. Menurut UU No. 6 tahun 2014, BPD merupakan lembaga yang melaksanakan fungsi pemerintahan yang anggotanya merupakan wakil penduduk desa berdasarkan keterwakilan wilayah dan ditetapkan secara demokratis. Kedudukannya sebagai lembaga desa yang terlibat melaksanakan fungsi pemerintahan, tetapi tidak secara penuh ikut mengatur dan mengurus desa. Terdapat 2 fungsi BPD yaitu, fungsi hukum/legislasi dan fungsi politik. Pada fungsi hukum, Kewenangannya sebatas membahas dan menyepakati rancangan Peraturan Desa bersama Kepala Desa, tidak ada kewenangan menetapkan peraturan desa. sementara pada Regulasi sebelumnya UU No. 32 tahun 2004, fungsi hukumnya menetapkan peraturan desa bersama kepala desa. Jadi Fu...

Kajian Rutin Anggaran

Rutinitas.- Secara rutin IRDeS melakukan kajian tentang Proses Perencanaan dan Penganggaran baik dari tingkat Desa,kecamatan hingga Kabupaten. Kajian ini merupakan komitmen untuk meningkatkan kapasitas anggota dan masyarakat agar perencanaan dan penganggaran di daerah sesuai dengan prinsip Akuntabilitas, Transparansi, Partisipatif dan Kesetaraan. Selain kajian, IRDeS pada bulan Februari melakukan monitoring musrembangcam di 17 Kecamatan di Kabupaten Situbondo.Temuan yang menarik dari monitoring tersebut adalah masih ada kecamatan yang dalam pelaksanaan Musrembangnya belum taat terhadap Regulasi yang diatur dalam Perbup Nomer 01 tahun 2014 tentang  Petunjuk Tekhnis pelaksanaan Musyawarah Perencanaan dan pembangunan ( Musrembangcam ) Kabupaten Situbondo tahun 2014. Artinya bahwa Proses Musrembang dilakukan hanya untuk menggugurkan kewajiban. Sejak Pra, Pelaksanaan hingga Pasca pelaksanaan Musrembangcam, ada beberapa hal yang belum dipenuhi ,salah satunya adalah belum meyebarnya ...