13-14 Juni 2015 |
Proklamasi 1945 merupakan tonggak awal Indonesia menjadi sebuah Negara
dengan sistem pemerintahan Demokrasi. Sebagaimana termaktub dalam Pembukaan
Undang- undang 1945 dan Pancasila yang berbunyi,”Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”. Bentuknyapun beraneka
ragam sejak era orde lama hingga era reformasi. Dimulai dari Demokrasi Parlementer,
Demokrasi terpimpin, Demokrasi Pancasila hingga saat ini system demokrasi yang
menjadi pilihan Indonesia masih belum menemukan bentuk yang paten. Semisal di Amerika
Serikat yang dikenal dengan Demokrasi Liberal.
Di era orde lama hingga orde baru, pemerintahan cenderung lebih
sentralistik. Segala urusan bergantung pada kebijakan pemerintah pusat. Kebebasan
rakyat untuk menyampaikan pendapat/aspirasi sangat dibatasi, bahkan tidak
jarang para Aktivis yang melakukan gerakan kritis terhadap pemerintah, mendapatkan
ancaman, pengasingan bahkan dibunuh. Militer digunakan oleh penguasa hanya
untuk meredam kemarahan rakyat yang kontra terhadap kebijakan pemerintah.
Berbagai peristiwa meletus saat kedaulatan rakyat dikebiri oleh
kesewenang-sewenangan penguasa .
Puncak kemarahan rakyat meletus pada mei 1998, dengan aksi Demonstrasi
besar-besaran ribuan aktifis mahasiswa menuntut turunnya Presiden Soeharto
karena dianggap sebagai tirani yang
sarat dengan tindakan Korupsi oleh penguasa. Puluhan orang menjadi
korban kebringasan penguasa yang Otoriter. Namun dengan semangat yang
menggebu-gebu, pada 21 Mei 1998 para demonstran berhasil mendesak Presiden
Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya. Maka selanjutnya masuklah Indonesia
ke era Reformasi.
Reformasi ‘98 melahirkan Desentralisasi yang termaktub dalam UU No.22
tahun 1999 lalu UU. No. 32 tahun 2004 selanjutnya UU. No 9 tahun 2015 tentang
pemerintah Daerah. Di Era desentralisasi yang diharapkan mampu memberikan arah
yang lebih baik bagi demokrasi Indonesia. Namun harapan itu menjadi Awang-awang
ketika semakin banyaknya Pejabat yang
melakukan tindakan-tindakan merugikan Negara. Misalnya korupsi semakin menjalar
level atas sampai level bawah, baik provinsi, kabupaten bahkan sampai ke
tingkatan desa dan RT.
Kondisi ini semakin parah dengan adanya gerakan pelemahan institusi
KPK oleh oknum pejabat yang ingin melanggengkan kekuasaannya, liberalisasi
ekonomi, konflik SARA, Kriminalisasi aktivis HAM, Utang luar negeri semakin
tinggi dan lain sebagainya. Jika kondisi ini dibiarkan maka akan muncul ketidak
stabilan Negara yang akan menumbalkan rakyat. ”Dimanakah ketentraman bisa ditemukan diantara berjuta
manusia jika setiap genggam nasi yang masuk mulut harus dibayar dengan martabat
mereka? Akan teruskah dibiarkan sebuah bangsa yang pernah mengukir keluhuran,
keagungan di abad-abad lampaunya, merosot menjadi rombongan tukang catut,
pencopet, pencuri, penipu dan menghabiskan sisa sejarahnya seperti kawanan
serigala, saling mengakali dan saling menelan ?” (mahasiswa Indonesia:amarah
suci editorial mahasiswa Indonesia edisi jawa barat 1967)
Berdasarkan kondisi tersebut,Institute
for regional development and studies (IRDeS) sebagai lembaga yang
bercita-cita melakukan penguatan terhadap masyarakat sipil berinisiatif untuk
melakukan pendidikan politik melalui sekolah demokrasi dalam upaya membangun
gerakan social. Tujuannya adalah untuk Meningkatkan
pemahaman masyarakat tentang strategi gerakan sosial dan meningkatkan
partisipasi publik untuk terlibat secara aktif dalam setiap kebijakan public.Adapun target yang ingin dicapai adalah tersusunnya agenda
gerakan social,terselenggaranya gerakan
social (Pengorganisasian massa) berbasis kelembagaan,memiliki Kemampuan
Leadership,melakukan advokasi
perencanaan dan penganggaran, terlibat dalam
proses pengambilan kebijakan Layanan Dasar Public.(1/06/2015)
Komentar