Proses Musyawarah Warga yang Demokratis |
Terdapat 2 fungsi BPD yaitu, fungsi hukum/legislasi dan fungsi politik. Pada fungsi hukum, Kewenangannya sebatas membahas dan menyepakati rancangan Peraturan Desa bersama Kepala Desa, tidak ada kewenangan menetapkan peraturan desa. sementara pada Regulasi sebelumnya UU No. 32 tahun 2004, fungsi hukumnya menetapkan peraturan desa bersama kepala desa. Jadi Fungsi hukum/legislasi BPD dalam UU No. 6 tahun 2014 lebih lemah dibandingkan UU No 32 tahun 2004. Untuk fungsi Politik, kewenangannya menampung dan meyalurkan aspirasi masyarakat desa, melakukan pengawasan kinerja kepala desa dan menyelenggarakan musyawarah desa.
Namun
kenyataan dilapangan, sering ditemui hubungan kepala desa dan BPD yang cukup
variatif. Secara Empirik dapat kita kelompokkan hubungan itu menjadi empat
hubungan antara lain sebagai berikut :
- Dominatif : Ini terjadi bilamana Kepala Desa sangat dominan/ berkuasa dalam menentukan kebijakan desa dan BPD lemah, karena Kepala Desa meminggirkan BPD, atau karena BPD pasif atau tidak paham terhadap fungsi dan perannya. Fungsi pengawasan BPD terhadap kinerja Kepala Desa tidak dilakukan oleh BPD. Implikasinya kebijakan desa menguntungkan kelompok Kepala Desa, kuasa rakyat dan demokrasi desa juga lemah.
- Kolutif : hubungan Kepala Desa dan BPD terlihat harmonis yang bersama-sama berkolusi, sehingga memungkinkan melakukan tindakan korupsi. BPD sebagai alat legitimasi keputusan kebijakan desa. Implikasinya kebijakan keputusan desa tidak berpihak warga atau merugikan warga, karena ada pos-pos anggaran/ keputusan yang tidak disetujui warga masyarakat. Musyawarah desa tidak berjalan secara demokratis dan dianggap seperti sosialisasi dengan hanya menginformasikan program pembangunan fisik. Warga masyarakat kurang dilibatkan dan bilamana ada komplain dari masyarakat tidak mendapat tanggapan dari BPD maupun pemerintah desa. Implikasinya warga masyarakat bersikap pasif dan membiarkan kebijakan desa tidak berpihak pada warga desa.
- Konfliktual : antara BPD dengan kepala desa sering terjadi ketidakcocokan terhadap keputusan desa, terutama bilamana keberadaan BPD bukan berasal dari kelompok pendukung Kepala Desa. BPD dianggap musuh kepala desa, karena kurang memahami peran dan fungsinya BPD. Musyawarah desa diselenggarakan oleh pemerintah desa dan BPD tidak dilibatkan dalam musyawarah int ernal pemerintah desa. Dalam musyawarah desa tidak membuka ruang dialog untuk menghasilkan keputusan yang demokratis, sehingga menimbulkan konflik.
- Kemitraan : antara BPD dengan kepala Desa membangun hubungan kemitraan. “ kalau benar didukung, kalau salah diingatkan”, ini prinsip kemitraan dan sekaligus check and balances. Ada saling pengertian dan menghormati aspirasi warga untuk melakukan check and balances. Kondisi seperti ini akan menciptakan kebijakan desa yang demokratis dan berpihak wagra. Pola kemitraan bisa terjerumus ke dalam pola kolutif kalau relasi Kades-BPD dilakukan secara tertutup dan tidak ada diskusi yang kritis.
Namun jika
pola kemitraan berlangsung secara normatif dan terbuka, maka pola ini menjadi
format terbaik hubungan antara kepala desa dan BPD. Sesuai anjuran kaum
komunitarian, pola kemitraan memungkinkan kades-BPD terus menerus melakukan
deliberasi untuk mengambil keputusan kolektif sekaligus sebagai cara untuk
membangun kebaikan bersama.
(SZ)
14/12/2016
Komentar